Kamis, 24 November 2011

CiNTa dalam PesaN KilaT


Kegalauan yang aku rasa saat ini tak mudah aku cerna. Semenjak aku mengenalnya semenjak itu pula aku merasakan ada keterbukan dalam hati. Dia yang hadir ketika salju kebekuan menutupi kutub hatiku kini menghilang dalam usikan hari.

Lama sudah aku menanti kehadirannya. Lelah tak lagi aku rasa, yang ada rasa kegundahan mengharap segalanya seperti dulu lagi. Ada seonggok harap aku labuhkan dalam benakku, kala karibmu datang menyampaikan pesan kilatmu ‘aku rindu kamu’.

Aku tersenyum sendiri. Kebahagiaan yang aku rasa melebihi satu kebahagiaan lain yang pernah aku rajut di waktu lalu. Benarkah? Aku tak kuasa menahan bahagia. Mataku kini terbuka lebar. Senyumku tak terkatup lagi kuurai hatiku dalam tulisan diri.

Kini, penantian itu kembali menemaniku. Pesan kilatmu tak jua datang. Aku bagaikan bunga yang menanti musim petik, aku bagaikan kegersangan yang menanti datangnya hujan. Ah....kebekuan makin terasa. Salju kian menggunung, namun kau tetap tak ada disini.

Haruskah aku tetap menantimu? Haruskah aku tetap memegang janji setiaku? Haruskah aku sendiri merasakan derita ini?kemana aku harus mencarinya.....dimana aku mendapatkannya lagi. Kemana karibmu berlalu, tidakkah pesan kilat dia sampaikan lagi?

Oh....hari ini,kala mendung menggantung menggapaikan sayapnya, kala alam redup berpayung awan,sepucuk surat datang kepadaku.

Kugenggam erat, aku tatap penuh harap. Ah, sehelai kertas dengan pesan yang teramat singkat ‘aku rindu kamu’.

Aku kembali tersenyum. Kupeluk lembar putih berpesan kilat. Kucium penuh gairah napasmu seolah ada didekatku,wangi badanmu menyengat di antara aroma duniawi. Ah...

Purnama telah berlalu dalam bergantinya musim, namun kau tak napak jua. Aku kalut, hariku kusut. Pesan kilat yang pernah kau kirim, kini hanya sebatas pesan kilat. Tak lagi mampu memberikan rona bahagia dalam langkahku. Aku tak butuh pesan kilat itu, aku butuh dirimu. Aku hanya ingin kau ada di sampingku. Aku hanya ingin kau pagut diriku. Kapan?

Hujan datang menjemput, bau tanah mengusik lamunanku. Kubuka tirai jendela. Oh...seorang dalam balutan basah bajunya berdiri menahan dingin di luar sana. Aku berlari, kubuka pintu hati dan umahku.ah...dia sipenulis pesan kilat. Ada disini berdiri di hadapku. Aku peluk...aku cium. Dia menatapku. Tidakkah kau rindu aku?

Saling menatap. Jemari saling meremas. Sebait pesan terdengar di telingaku’aku rindu kamu’. Aku mengangguk. Aku tersenyum di sela tangis. Sepucuk surat dia tinggalkan di tanganku. Saat dia berlalu,berlari menepis hujan, aku buka lembaran itu.

Masih juga sebuah pesan kilat’aku tak bisa memilikimu’.

Gelegar gemuruh menampilkan kekuasannya. Kilat menyambar. Kebekuan lumer sudah.pesan kilat yang kuharap telah datang bersama kehadirannya yang begitu singkat.

Aku berlari mengejar di bawah usikkan hujan, diantara serpihan keping hati. Aku mencarinya. Tapi dia sudah begitu jauh. Tinggal aku seorang diri menepis basah.

Tangis dan air mata berlomba bersama guyuran hujan. Aku masih tetap berdiri. Aku masih mengharap dia kembali, namun semua hanya angan. Dia tak kembali, terus berlalu.

Angin bertiup kencang dalam tarian tetes dari langit. Aku tak beranjak. Aku masih berdiri. Lunglai dalam keterpakuan. Penantian itu telah terjawab dengan sebuah kepedihan yang tiada tara.

Alam tak lagi basah. Aku masih terus mencari jawaban nyata dari kepergiannya. Izinkan aku Tuhan untuk dipertemukan. Aku tak mungkin melangkah dalam kepenasaran. Aku hanya ingin lebih menghargai kepergiannya, mengapa semua ini harus terjadi?

Oh....Tuhan, ternyata semua harus aku hadapi. Dia bukan kembali untuk diriku, tapi untuk dirinya yang kini duduk anggun disampingnya dalam satu ikrar suci. Dia bukan miliku, dia miliknya. Dia kembali hanya untuk menganyam teruntainya si janur kuning.

Sadar akan segalanya, aku beranjak. Aku biarkan luka berkelana. Ketika langkah aku seret dalam pedih, sosok yang membuat hancur hati ini berdiri dalam tatapnya. Tak pernah aku berpikir dia yang aku kejar diantara turunnya hujan dengan sendirinya hadir di depan pandanganku yang kosong.

Oh ...dia menjemputku. Aku biarkan dia merangkulku. Masihkah ada cinta ini untuknya? Aku tak bergeming. Aku biarkan tubuhku dalam pelukannya.

Sementara pesta belumlah usai, dia menarikku. Aku bersama dalam genggamannya. Hati dan jiwaku pasrah dalam ulurannya. Lelaki tegap itu meninggalkan kursi pelaminan, meluci busana pengantinnya. Kini dia berada disampingku dalam sorot mata penuh harap, mengharap kembalinya cinta dan tahta.

Hati dan jiwaku bersentuhan di antara jujur dan kesakitan. Apakah aku harus bergembira di atas kedukaan penggalan hati yang ditinggalkannya, ataukah aku harus merana dalam ratap yang tiada batas jika aku tidak menghendaki hadirnya cinta yang masih utuh bersemayam dalam sangkar kalbuku. Dirinya sekarang hadapanku, diam terkatup. Bibirnya membisu. Tiada bahagia yang dia rasa kala alunan gamelan penyatuan ikrar suci di dendangkan. Yang ada rasa tersayat mencabik seluruh kerangka penopang raganya. Dia jujur mengakui kekuatan cinta yang ada ternyata bukan untuknya tapi untukku yang setia dalam penghayatan cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar